Filosofi Kushin Ryu

Kamis, 04 November 2010

KUSHIN RYU, Ku artinya Langit dan Shin adalah hati yang kosong. Artinya seorang ksatria Kushin Ryu hendaknya mengosongkan hati dengan ikhlas untuk menerima ilmu beladiri yang berasal dari Sang Pencipta, menerima ilmu yang bersih dari rasa iri, dengki, dendam, bersifat jujur dan berjiwa seorang ksatria inilah makna filosofi KUSHIN RYU

Pendekar, atau sebut saja jago karate tak harus selalu tampil garang. Kalau enggak percaya, silakan tanya Horyu Martsuzaki (70), guru besar Kushin-Ryu Karate-Do, yang punya lebih dari 1,5 juta murid di 33 provinsi di seluruh Indonesia. “Karate itu seperti celana dalam,” ujarnya mengejutkan.

Enggak, Anda tidak salah dengar. Karate memang bak pakaian dalam. Maksudnya, dia melekat pada diri, tapi tak pantas terlihat, apalagi sengaja diperlihatkan. Orang mempelajari ilmu bela diri justru agar tak tampak galak. Di keseharian, ada dua gaya hidup seni bela diri. Pertama, yang mementingkan peningkatan ilmu untuk memahami hakikat hidup dan mencapai jatidiri tertinggi sehingga bersikap rendah hati, dan sebaliknya, yang berniat memanfaatkan ilmu untuk memburu “nama baik” dan nama besar.

“Siapa saja yang ingin menguasai karate, pertamadan terpenting tak iri hati, berburuk sangka, mesti selalu rendah hati, pemurah, berperilaku baik, memelihara ketenangan spiritual, berusaha keras menjadi teladan bagi semua,” saran sang sensei yang juga punya murid di Australia, Paraguay, Uruguay, Chile, Argentina, Panama, Timor Leste, Singapura, Malaysia, Jepang, Korea ini.
Saran bijak tadi tertuang di sampul bukunya, Perjuangan Hidup: Hakikat Kushin-Ryu Karate-Do (Primamedia Pustaka, 2006). Sesuai makna karate-do, karate (dasar tangan kosong), do (harus selalu ingat belajar kemanusiaan).
Penguasaan ilmu karate oleh orang tanpa mental mantap bisa fatal. Bila sebatas teknik pukulan dan serangan, itu baru kulitnya. Inti terdalam berarti mempelajari hidup dan manusia itu sendiri. Karate100 titik lemah tubuh manusia, 44 di antaranya terlemah. Titik lemah berada di pusat otot, daging, pembuluh darah dan saraf. Jika ditinju atau ditendang karate-ka berketerampilan tinggi, bisa meninggal. mengenalkan

Karena tahu betapa berbahayanya titik lemah, bagian ini malah jarang sekali diserang. Kalahkan lawan dengan tenaga seminimal mungkin. Mengalahkan lawan itu penting, tapi menciptakan keadilan dalam bertanding itu lebih penting.

Karate menjembatani penempaan semangat dan jiwa untuk menemukan hakikat watak kita sendiri. Jika tak mengenali diri sendiri, kita tak dapat mengenali musuh. Jadi, pendekar sejati itu menguasai diri sendiri. Kekuatan yang sesungguhnya tak hanya membuat lawan takut tapi juga memberi kesegaran bagi lawan yang dikalahkan. Lawan mengakui kehebatan kita dengan hormat. Lawan tak ingin lagi menyerang. Kita menang tanpa diserang, tanpa perlu melawan.

“Saya belajar karate sejak sembilan tahun. Sampai kini merasa belum benar-benar menguasai intinya. Ini pelajaran sampai mati. Tiada guna banyak ilmu tanpa diterapkan. Dalam karate ada siasat, pura-pura tak kuat supaya lawan lengah, kita menang. Jadi di keseharian, karate membekali raga terlatih, pikiran terjaga. Sesekali marah, gusar, itu wajar. Tapi sebentar saja. Ini proses. Sewaktu muda saya juga sering marah, menggugat Tuhan, ha…ha…. Tapi makin berumur, kita mesti makin bijak. Seperti padi. Makin berisi makin merunduk.”

“Mempelajari olahraga atau seni bela diri bangsa lain, berarti mengenali budaya bangsa itu sendiri,” ujar Horyu dalam bahasa Indonesia fasih berlogat kental Jepang, tentang alasan datang ke Indonesia sejak akhir 1966.

Yang menarik, akar budaya tiap bangsa memberi warna tersendiri pada teknik karate. Orang Eropa lebih cocok memukul ke atas seolah memetik buah di ranting pohon. Orang Asia yang umumnya berlatar budaya petani lebih cocok memukul ke bawah seolah menanam padi. Secara fisiologis, jumlah serat otot ras Mongoloid macam Jepang dan Indonesia lebih sedikit dibanding Anglo-Saxon. Tapi bukan berarti refleks, naluri dan kemampuan bertarung Asia lebih rendah dibandingkan Anglo-Saxon. Agar menang, ras Mongoloid mesti berlatih keras untuk mengubah mutu otot dan memaksimalkan fungsi otot, kecepatan dan gerakan badan dari berbagai sudut, serta menggali kemampuan tersembunyi.

Karate yang kini dikenal berasal dari Jepang, sebenarnya lahir dari sinergi kungfu Cina dengan seni bela diri Jepang, ju-jutsu, toshin-jutsu, bo-jutsu, karate Okinawa. Unsur yang berbeda itu memperkaya. Misalnya, sundome (larangan menendang dan memukul ke badan lawan) bukan dari kungfu.

Karate-do aliran Kushin-Ryu dikembangkan Sannosuke Ueshima (1893-1987) pada 1932 dari gabungan kungfu Shaolin, karate Okinawa dan aliran Konshin-ryu Juho-jutsu, serta tinju Barat. Kushin bermakna kosong, melepaskan kesadaran hingga menyatu dengan alam semesta. Juho-jutsu itu jurus mengendalikan lawan tanpa pukulan mematikan tapi dengan kekuatan mental.
Oleh ayahnya yang sensei judo, Horyu awalnya “dipaksa” berlatih judo yang lebih olahraga bantingan dan karate yang lebih ke bela diri dan sikap satria.

Saat “ditugaskan” mengembangkan sayap ke luar Jepang, ia sebenarnya ditawari ke AS, “Tapi saya lebih suka Asia,” ujar pria yang secara fisik tak mengesankan sebagai mahaguru karate. “Ayah saya orang kaya, mengirimi uang untuk biaya hidup penuh. Sampai 42 tahun ini kami sama sekali tak ambil iuran untuk karate. Untuk nafkah hidup, kami punya bisnis,” ujarnya seraya merahasiakan jenis bisnisnya.

“Tak perlu cari kaya, tapi kebetulan diberkahi kaya ya enak. Ini wujud terima kasih. Terima dari Tuhan lalu kasih (berikan) pada orang lain. Jadi, orang kaya mengambilkan untuk yang lebih membutuhkan. Membantu orang lain tanpa membuat mereka merasa berutang budi. Benar-benar rela.”

0 Comment:

Posting Komentar